top of page

Kesepian

  • Writer: Johannes Silentio
    Johannes Silentio
  • Jan 5, 2019
  • 2 min read

ree

Mungkin inilah penyakit paling akut orang modern: kesepian. Dan ini jugalah tragedi kehidupan modern: melakukan kesibukan tanpa pernah sadar dan tahu untuk apa sebenarnya semua kesibukan itu!


Tak sulit mencari bukti. Jalanan di Jakarta adalah teater kesepian dan usaha tragis orang modern yang berusaha lari dari kesepian dengan menyibukkan diri, sejak subuh hingga malam. Orang bergegas dari satu tempat ke tempat lain, berusaha menyibukkan diri sendiri untuk menghalau kesepian. Lalu, jika ada sedikit jeda—entah sedang menunggu bus atau terjebak kemacetan—mereka masih berusaha menyibukkan diri dengan HP, SMS, Twitter, WhatsApp, Instagram, Facebook....

Tampaknya seluruh perangkat media sosial dan teknologi canggih itu diciptakan guna menyingkirkan rasa takut pada kesepian. Perangkat-perangkat itu membuat hidup dunia modern seakan-akan selalu tersambung, always connected kata iklan sebuah ponsel, kalau perlu 24 jam sehari. Tragisnya, justru tidak pernah kesepian terasa begitu menusuk selain di dunia yang always connected itu! Lucu, tapi terkesan miris, jika kita menyaksikan sepasang kekasih duduk di meja makan namun masing-masing sibuk entah dengan Ponsel atau IPad mereka. Dan potret semacam itu bisa ditemukan di mana-mana.


Kesepian memang menakutkan. Namun, kesepian juga bisa menjadi momen anugerah bila orang tak lari darinya, melainkan bersahabat dengannya. Karena pada saat-saat seperti itulah terbuka kesempatan bagi seseorang untuk mendengar keluhan, tangisan, ratapan, kecemasan, maupun kegembiraan dalam bagian terdalam dirinya, lalu berwicara dan mengolah pengalaman sehari-hari yang dilaluinya. Di situlah Kairos (καιρός), si anak-kandung Chronos (Χρόνος) ditemukan. Dan melaluinya orang, memakai ungkapan klasik, sedang merawat dirinya.


Proses itu, “merawat diri” (care of the self; Yunani: ἐπιμέλεια ἑαυτοῦ, epimeleia heautou) sesungguhnya menjadi kunci bagi apa yang pernah saya sebut sebagai proses pembentukan-diri, yakni latihan rohani untuk menggapai ethos (ἔθος) yang akan menjadi pusat orientasi dan tindakan seseorang di dalam mengarungi kehidupan. Dalam artikelnya yang bagus, Petra Hroch memberi catatan penting bahwa terjemahan epimeleia menjadi “care” terlalu “lembut”. Kata Yunani ἐπιμέλεια itu, konon, berasal dari kata melete (Yunani: Μελέτη) yang berarti juga “latihan”, atau “meditasi”. Maka praktik “merawat diri” merupakan proses pelatihan dan pengulangan yang melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.


Jika proses itu dilakukan, maka kesepian (loneliness) yang menakutkan pun pelan-pelan berubah menjadi keheningan yang membebaskan (liberating silence). Pergulatan itulah, dari kesepian menuju keheningan, yang disebut spiritualitas.

Recent Posts

See All

댓글


bottom of page