Ethos
- Johannes Silentio
- Jan 4, 2019
- 2 min read
Ethos berasal dari kata Yunani (ἔθος). Entah karena alasan apa, kata itu diterjemahkan sebagai character dalam bahasa Inggris, lalu ditransliterasikan menjadi karakter dalam bahasa Indonesia. KBBI mengartikannya sebagai “tabiat”, atau “watak”, yang diperikan sebagai “sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.” Ini kira-kira senada dengan pemerian “character” menurut Merriam-Webster.
Terjemahan itu sedikit banyak menyembunyikan kaitan erat antara ethos dengan ethikos (Yunani: ἠθικός) – apa yang dalam bahasa Inggris disebut “moral” (walau KBBI menyebut “akhlak”) – maupun ta ethika (Yunani: τὰ ἠθικά), yang menjadi akar kata ethic. Orang harus selalu mengingat kaitan ini, antara ethos, ethikos dan ethic, saat membicarakan “karakter”. Juga proses dinamis yang melatarinya. Soal ini perlu didedah sedikit.
Karakter tidak datang atau ada dari sononya begitu saja, sudah inheren dalam pribadi seseorang, melainkan hasil dari suatu proses pembentukan-diri, suatu fabrikasi atau poiesis (Yunani: ποίησις; dari kata poiéō, ποιέω). Platon mengulas tindakan poiesis ini lewat figur Diotima (Yunani: Διοτίμα) dari Mantinea sebagai cara manusia melangkaui keterbatasan spatio-temporalnya dan mencapai “keabadian”. Dalam Symposium (207d-e) Diotima, perempuan cenayang dan filsuf yang konon hidup sekitar tahun 440 SM, menyebut ada tiga poiesis yang melaluinya manusia dapat mencapai keabadian: (1) alamiah, yakni melalui prokreasi; (2) tindakan herois dalam polis yang melaluinya akan selalu dikenang; dan (3) melalui proses pembentukan karakter dan pengetahuan, atau apa yang di atas saya sebut “pembentukan-diri”.
Dewasa ini, lewat kajian Pierre Hadot, yang kemudian diambil alih oleh Michel Foucault dengan tafsirnya sendiri, proses fabrikasi-diri itu kembali menjadi perhatian diskursus filsafat kontemporer. Kajian cemerlang McGushin (2007) memperlihatkan dengan sangat rinci bagaimana seluruh perkaryaan Foucault sebenarnya berujung pada apa yang disebutnya etho-poetic, yakni proses “latihan rohani” dalam pembentukan ethos sebagai pusat maupun orientasi tindakan seseorang di dalam mengolah hidup sehari-hari.
Dan di situ, dalam proses itu, dibutuhkan keheningan (silence) yang jelas berbeda dengan kesepian (loneliness). Tapi soal ini, nanti saja dibicarakan.
Comments