Kebenaran
- Johannes Silentio
- Mar 31, 2019
- 3 min read

Bagi seorang jurnalis perang seperti Marie Colvin, yang meninggal dunia di Homs, Suriah, 22 Februari 2012 lalu bersama rekannya, Remi Ochlik, kebenaran adalah satu-satunya senjata yang dikenal.
Demi kebenaran ia menempuh semua risiko, terjun untuk menyaksikan perang secara langsung, sekaligus merekam pengalaman mereka yang tidak punya suara agar pengalaman itu tercatat dalam sejarah dan tidak hilang bersama dengan sisa-sisa perang.
Tetapi, setidaknya dalam film A Private War yang sedang beredar di bioskop, dorongan itu juga merupakan perang batin yang terus menerus menghantui Marie (diperankan dengan bagus oleh Rosamund Pike). Apa ini semacam post-traumatic syndrome? Marie tidak tahu persis. Tetapi brutalitas perang yang disaksikan olehnya diam-diam mengendap, menggerogoti dan memakan habis jiwanya. Walau, pada saat bersamaan, ia mengaku "kecanduan" untuk terjun dan meliput perang.
Film luar biasa hasil besutan Matthew Heineman ini mengisahkan sekaligus dua perang itu: perang yang disaksikan Marie dan menghantuinya, maupun perang dalam diri Marie sendiri. "Our mission is to speak the truth to power," ujar Marie yakin. Pernyataan itu semacam pengakuan imannya. Juga bagi sebagian jurnalis yang setia pada panggilannya.
Tetapi apa itu kebenaran? Apakah hasrat untuk mencari dan menemukan kebenaran sangat penting, dan kalau perlu harus diperoleh lewat pertaruhan ultim kehidupannya sendiri? Menjelang akhir film, pertanyaan-pertanyaan itu diam-diam terbersit pada diri Marie. Ia sudah pergi ke tempat-tempat paling jauh di seluruh pelosok bumi untuk menyaksikan peperangan, dengan segala brutalitas dan absurditasnya, lalu melaporkannya sebagai "saksi kebenaran". Namun diam-diam ia mulai mempertanyakan keyakinan itu. Kebenaran seperti apa? Dan untuk apa?
Apa yang ingin diraihnya? Kesuksesan sebagai wartawati perang paling mahsyur di abad ini? Penghargaan bertubi-tubi yang diterimanya? Kepuasan batin sebagai seorang jurnalis? Ia sudah menulis begitu banyak tentang perang dan absurditasnya, namun apakah tulisan-tulisannya mampu menghentikan mesin kuasa yang menggerakkan perang?
Marie tahu apa jawabannya. Tetapi ini tidak membuatnya surut. Saat meliput tragedi perang Suriah di Homs, pada bulan Februari yang naas itu, ia sebenarnya punya waktu untuk keluar dari kancah peperangan. Posisinya sudah diketahui, dan pasukan Assad sedang mengincarnya.
Namun demi kebenaran ia memilih kembali untuk menyiarkan langsung, lewat CNN, nasib 28.000 warga sipil, termasuk orang tua, perempuan dan anak-anak, yang terjebak di dalam neraka perang. Ia menjadi satu-satunya wartawati Amerika yang ada di tengah kancah peperangan. Dan untuk itu, ia harus menyerahkan nyawanya.
Senjakala kebenaran
Mungkin Marie merupakan contoh ekstrem tentang hasrat untuk memperoleh kebenaran (the will to truth) yang menjadi leitmotiv dunia modern. Bukankah atas nama upaya meraih kebenaran segala hal dapat dipertaruhkan? Dulu, hasrat itu terkesan sangat herois, sehingga mendorong eksplorasi tanpa lelah dalam segala bidang, lalu menjadi motor kemajuan pesat sains dan teknologi dalam dunia modern. Lagi pula ada semacam kepastian tentang apa itu kebenaran yang ingin diraih.
Tapi sekarang iklimnya sudah sama sekali berbeda: orang tak lagi merasa serba-pasti apa itu kebenaran. Kriteria yang pernah disusun untuk merumuskan kebenaran, lalu dijadikan semacam pegangan yang diyakini semua lapisan, kini terasa tidak lagi pasti. Juga tidak lagi menjadi "konsensus bersama" yang bisa menjadi pegangan semua orang. Malah ada pemikir yang-- saya yakin sekadar guyon-- memplesetkan kebenaran dengan kebeneran (bahasa Jawa untuk kebetulan).
Senjakala kebenaran itu makin diperparah sejak media sosial menguasai ruang-ruang hidup kita. Saya pernah menulis bahaya media sosial itu yang dalam dirinya mengandung tiga ciri yang problematis. Pertama, jumlah dan perputaran informasi yang mbludak tak terkendali membuat orang tidak lagi mampu mengambil jarak kritis; dan karena itu, kedua, orang susah memverifikasi kebenaran suatu berita yang beredar. Akhirnya, ketiga, tidak ada orang lain: Anda adalah sekaligus pembuat, penyunting dan penyebar berita lewat media sosial (baca "Mencari Figur Sokrates", Kompas, 10 Januari 2018).
Ruang kritis
Karena itulah kini orang lebih kerap berbicara soal iklim budaya post-truth, di mana "kebenaran" dinilai sejauh mana suatu informasi atau berita menjadi viral, yakni dikonsumsi orang banyak, atau tidak. Suatu berita atau informasi menjadi "benar" jika dibaca, dibagikan dan diyakini oleh orang banyak. Makin tersebar luas suatu berita, makin "benar" kandungan berita itu!
Tentu saja kriteria tersebut bisa sangat berbahaya, sebab membuka celah bagi siapapun orang yang dapat "mengendalikan" arus informasi menjadi suara sang kebenaran. Bahkan jika informasi yang dibagikan palsu, atau berita bohong maupun ujaran kebencian. Diktum Joseph Goebbels, menteri propaganda Hitler dulu, sudah mengingatkan soal itu: "If you repeat a lie often enough, people will believe it, and you will even come to believe it yourself."
Bentuk paling banal dari senjakala kebenaran adalah keriuhan dunia media sosial kita menjelang pertarungan akbar 17 April mendatang. Berhadapan dengan arus informasi yang mbludak demi memenangkan salah satu kandidat, rasanya absah untuk memunculkan pertanyaan kritis: apakah masih ada ruang kritis di mana proses pewiwekaan (discernment) dapat berlangsung, sehingga orang dapat memilih berdasarkan nurani dan pertimbangan rasional yang jernih?
Saya kira di situ letak pertaruhannya sekarang. Dan dengan hati berdebar, mari kita nantikan hasilnya!
Juga dimuat dalam Kompas, 27 Maret 2019
留言