Rutinitas
- Johannes Silentio
- Jan 17, 2019
- 2 min read

Saya lupa judul filmnya, pun nama sutradaranya. Tapi alur cerita film itu samar-samar masih bisa saya ingat.
Kisahnya tentang seseorang yang setiap hari bangun pada jam yang sama, menjalani hidup yang terus berulang, tetapi tanpa kenangan apa yang terjadi di hari sebelumnya maupun harapan apa yang akan terjadi kelak. Atau kira-kira seperti itu.
Tentu saja orang itu mulanya tidak tahu bahwa ia hanya mengulangi episode yang sama setiap hari. Apa yang dijalani hari ini, hanya berlaku untuk hari itu. Karena itu ia tidak punya kenangan apa yang pernah dijalani sebelumnya. Dan karena itu pula ia tidak punya bayangan apa yang akan terjadi kelak. Hidup hanya di hari ini sesuai jadwal yang sudah ada.
Sampai suatu saat, entah karena alasan apa, tiba-tiba saja orang itu mulai sadar bahwa ia hanya mengulangi ritme hidup yang sama. Untuk membuktikannya, ia membuat catatan apa yang dijalani hari itu. Esok, saat ia bangun dan memulai hari yang "baru" (adakah yang "baru" jika semua hanya pengulangan?), ia bisa punya pegangan untuk menilai apakah hidup yang dijalaninya hanya sekadar pengulangan.
Rasanya Anda sudah bisa menebak ujung jalan ceritanya. Sebab orang itu ada di sekitar kita. Atau bahkan potret sebagian besar kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Mungkin tidak persis pengulangan sampai rincian terkecil, tapi secara umum sebagian besar kesibukan kita hanyalah mengulangi jadwal yang sama setiap hari sembari bertanya kapan datang akhir minggu atau saat liburan lagi.
Rutinitas semacam itu memberi rasa nyaman. Ada semacam kepastian tentang apa yang harus dilakukan setiap hari, dan bahkan sudah dapat memperkirakan apa yang akan terjadi. Di Jerman, kepastian jadwal kereta bahkan bisa diukur sampai menitnya, sehingga teman saya heran bagaimana bangsa yang suka berpikir filsafat dapat menghasilkan ketepatan seperti itu.
Tetapi kadang, seperti orang tadi, tiba-tiba ada kesadaran yang lamat-lamat datang. Lalu kita pun mulai bertanya, "Seperti inikah hidup yang harus dijalani?" Apakah benar, "tidak ada yang baru di bawah matahari", seperti kata si Pengkhotbah itu?
Comments