Ingatan
- Johannes Silentio
- Jan 25, 2019
- 2 min read

Ini adagium Milan Kundera yang selalu disebut, setiap kali orang berbicara tentang ingatan: bahwa perlawanan terhadap kekuasaan otoriter sebenarnya merupakan upaya mempertahankan ingatan dari proses pelupaan.
Di situ ada sesuatu yang heroik, tapi sekaligus pengakuan jujur betapa rentan ingatan di hadapan sang waktu. Kita terus menerus mengalaminya dan kadang menangisinya: entah menangisi ingatan yang masih sangat jelas dan dapat dirasakan dalam tubuh kita, sementara kita sadar bahwa kita tidak lagi dapat mengalaminya; atau ingatan yang perlahan-lahan memudar jadi bayang-bayang tak jelas, betapapun kita berusaha menggali seluruh kenangan yang masih tersisa lalu berusaha menyatukannya lagi. Kadang juga kita terkejut, saat menyadari betapa jauh berbeda kenangan yang masih dapat kita ingat dengan kenyataan hidup yang dialami sekarang. Sebuah foto diri 10 tahun lalu, misalnya, membuat kita sadar betapa banyak perubahan yang terjadi pada diri kita.
Dan kekuasaan otoriter bekerja persis di celah itu. Ia berusaha menghapus bagian-bagian tertentu dari ingatan kolektif, membuat kita lupa pada apa yang pernah terjadi di masa lampau, sehingga kita dapat menerima dan berdamai dengan apa yang ada sekarang. Karena ingatan bisa menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kekuasaan otoriter: ia dapat membuat kita mempertanyakan keabsahannya! Itu sebabnya ingatan berbahaya (dangerous memories) perlu dihapus, dan setiap upaya untuk mengenangnya harus dicegah. Lalu, dengan proses itu, orang dapat dituntun untuk berdamai dan menerima kenyataan sekarang tanpa harus mempertanyakan apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Dalam "politik ingatan" seperti itu, adagium Kundera benar: perlawanan terhadap kekuasaan otoriter adalah upaya merawat ingatan-ingatan berbahaya yang ingin dilenyapkan, agar kekuasaan selalu dapat dimintai pertanggungjawabannya. Tetapi lebih dari itu. Sejarah juga mengajarkan, upaya merawat ingatan berbahaya justru merupakan titik tolak bagaimana peradaban dibangun. Platon merawat dan mengabadikan ingatan pada Sokrates, orang bijak yang memilih mati ketimbang lari dari proses peradilan busuk, dalam dialog-dialog yang menginspirasi peradaban sampai sekarang. Begitu juga kekristenan merawat ingatan berbahaya tentang Yesus, sang rabbi pembaharu yang harus mati di tengah persekongkolan politik dan agama di masanya. Catatan-catatan tentang dirinya disebut Injil (Yunani: εὐαγγέλιον), suatu "kabar gembira" tentang harapan yang selalu timbul di tengah realitas yang kadang terlalu pahit.
Mungkin kontradiktif, tapi benar: ingatan berbahaya justru menjadi sumber harapan, bahwa betapapun otoriternya kekuasaan ia tidak akan pernah mampu menguasai secara total hidup kita.
Comments