Chronos
- Johannes Silentio
- Jan 3, 2019
- 2 min read
Kita tahu orang Yunani kuno punya dua kata untuk menyebut "waktu": Chronos (Χρόνος) dan Kairos (καιρός). Kalau yang pertama merujuk pada proses hari demi hari yang dilalui (dari situ kita memperoleh kata "chronology"), yang kedua punya karakteristik khusus yang lebih merujuk pada "saat tertentu": suatu titik atau kondisi dalam aliran waktu yang memungkinkan sesuatu terjadi, atau keputusan diambil. Tidak heran, dalam bahasa Yunani modern, Kairos juga dipakai untuk menunjuk "cuaca". Tapi bukan soal etimologi itu yang menarik perhatian saya, melainkan penggambarannya. Sebab di situ kita bisa melihat bagaimana orang Yunani kuno menghayati "waktu".
Chronos (dilatinkan menjadi Chronus) kerap kali dipersonifikasikan dalam bentuk Dewa Cronus yang memakan anak-anaknya sendiri, sembari membawa sabit besar untuk menuai hasil panen waktunya. Konon di masa Renaisans, gambaran ini menghasilkan alegori tentang "Bapak Waktu" yang menghabisi generasi-generasi berikut yang dilahirkannya. Lukisan Giovanni Francesco Romanelli pada abad ke-17 yang disimpan di Museum Warsawa, memperlihatkan dengan bagus gagasan tersebut: Dewa Cronus menjinjing anaknya sembari membawa sabit besar.
... dalam perjalanan hari demi hari yang kerap membosankan dan terasa banal, dan bahkan "memakan" habis usia kita, selalu terkandung benih-benih Kairos.
Bukankah waktu kronologis kerap berlaku seperti Dewa Cronus itu? Hari demi hari yang dijalani, sering kali "memakan" hasil-hasil yang dikerjakan, ketika orang makin menyadari -- dengan berlalunya waktu -- usianya yang menua, tenaga yang melemah, kesempatan yang hilang, dstnya. Pada satu titik, sudah pasti Dewa Cronus akan melahap bagian terakhir yang tersisa, yakni saat kematian datang dan kita menyerah di tangannya. Mungkin karena kesadaran itu, bagi orang Hindu waktu (Kāla; Sanskrit: काल) juga diasosiasikan dengan Batara Yama, Dewa Kematian. Dialah ujung terakhir dari perjalanan kita menempuh waktu.
Namun, syukurlah, dalam beberapa sumber Yunani kuno, Kairos kerap digambarkan sebagai saudara atau malah anak Chronos. Saya tidak tahu mana yang benar, saudara atau anak. Tetapi gambaran bahwa Kairos adalah anak Chronos memberi celah harapan: dalam perjalanan hari demi hari yang kerap membosankan dan terasa banal, dan bahkan "memakan" habis usia kita, selalu terkandung benih-benih Kairos. Itulah "saat" yang tepat ketika Sang Misteri menuntun dan membelokkan jalan hidup kita ke arah peziarahan yang baru.
Yang dibutuhkan adalah kewaspadaan untuk melihat benih-benih Kairos dalam Chronos, dan keterbukaan sekaligus harapan agar Tuhan bertindak: Kairos tou poiēsai tō Kyriō. Inilah saat (Kairos) bagi Tuhan untuk bertindak!
Comments