top of page

Menyambut Tahun Keadilan Sosial

  • Writer: Johannes Silentio
    Johannes Silentio
  • Jan 17, 2020
  • 3 min read








MENARIK sekali, pesta perayaan Hari Raya Penampakan Tuhan kali ini (Minggu, 5 Januari 2020) justru dipakai oleh Keuskupan Agung Jakarta untuk memulai "Tahun Keadilan Sosial". Surat Gembala yang ditulis Kardinal dan Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, memberi visi dan pemahaman konkret perjuangan demi keadilan sosial yang akan menjadi pusat refleksi Gereja Katolik, khususnya di lingkup Keuskupan Agung Jakarta, sepanjang tahun ini.


Saya tidak akan mengomentari secara rinci isi Surat Gembala yang sepenuhnya saya imani itu. Pesan yang disampaikan sangat inspiratif dan dapat menjadi pegangan umat. Tapi, minimal untuk saya, yang paling menarik adalah ketika Surat Gembala itu mengaitkan peristiwa Penampakan Tuhan -- sebuah narasi khas Matius, sebagaimana akan diurai di bawah -- dengan Tahun Keadilan Sosial. Mari kita lihat sekilas.


Dari narasi panjang Matius tentang para Majusi yang datang untuk menjumpai Bayi Yesus, Mgr. Suharyo menyorot khusus kalimat penutup: "... mereka pun pulang ke negerinya lewat jalan lain" (Mat 2:12b). Frasa pendek itu, "jalan lain", dipahami sebagai titik tolak baru bagi setiap orang yang, seperti para Majusi, bertemu dan mengalami penampakan Tuhan: "Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan selalu mengubah dan membarui serta membuahkan sukacita (Mat 2:10)."


Jadi ada imperatif perubahan yang selalu bergema sepanjang sejarah Gereja. Dalam kalimat Konsili Vatikan II tentang Gereja, imperatif itu dirumuskan tegas bahwa Gereja harus "terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan". Ecclesia Semper Reformanda! Gereja harus terus menerus diperbarui -- sebuah slogan yang bergema kuat dalam tradisi gereja-gereja Reformasi. Dan dewasa ini, imperatif perubahan itu nyaring disuarakan Paus Fransiskus yang menuntut agar Gereja berani "bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahnya sendiri atau ke lingkungan sosial budaya yang baru."


Boleh jadi, frasa dari narasi Matius itu sengaja dipilih untuk menekankan imperatif "pertobatan dan pembaruan" tersebut. Tapi, minimal untuk saya, tekanan ini mereduksi "pesan politis" Matius yang justru sangat dibutuhkan ketika kita ingin memperjuangkan keadilan sosial. Ijinkan saya mengelaborasi lebih jauh titik berangkat hermeneutis ini.


Paradoks Natal

Di bagian awal Injil Matius, kita menemukan narasi-narasi yang khas dan tidak dapat ditemukan dalam Injil-injil lain. Kisah tentang kegundahan dan kemarahan Herodes sebagai penguasa, kedatangan para Majusi, pelarian Keluarga Kudus ke Mesir maupun pembantaian bayi-bayi di Betlehem, adalah contoh narasi-narasi khas itu. Membaca narasi-narasi itu membuat kita seperti menonton pertunjukan drama tentang kekuasaan yang tragis.


Dan sang protagonis adalah Herodes! Ia adalah gambaran seorang penguasa yang mau mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk membantai bayi-bayi di Betlehem, namun sadar bahwa kekuasaannya sangat rapuh dan sedang runtuh. Sebab Yang Maha Tinggi sudah memutuskan untuk bertindak, tetapi memilih locus yang sama sekali di luar dugaan Herodes. Matius melukiskan itu, sembari menyitir nubuatan kuno yang kemudian menjadi syair salah satu lagu Natal, "O Little Town of Bethlehem" (bdk. Mat 2:6).


Inilah warta yang membuat Herodes gundah, sebab tahu bahwa akhir kekuasaannya sudah tiba, lalu membujuk para Majusi untuk menyelidiki. Kita dapat membayangkan rencana keji apa yang ada dalam kepala Herodes. Bagi kita, ini justru warta gembira, suatu eungalion (Injil), walau paradoksal: Yang Maha Tinggi memilih dan menjadi yang paling kecil, rapuh dan terhina, untuk memulai karya keselamatan-Nya. Suatu paradoks Natal par excellence!


Pesan Politis

Menurut saya, "pesan politis" dalam narasi khas Matius ini memberi kerangka hermeneutis yang penting untuk lebih menghayati panggilan Tahun Keadilan Sosial. Memang benar di sana dituntut "pertobatan dan pembaruan" agar Gereja mampu membaca tanda-tanda zaman, dan semakin menghayati "kegembiraan dan harapan... terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita", sebagaimana disuarakan Konsili Vatikan II. Surat Gembala sudah menekankan imperatif itu.


Namun, saya kira, imperatif itu harus diletakkan dalam kerangka "pesan politis" Matius. Sebab tuntutan untuk memperjuangkan keadilan sosial tidak akan pernah bisa lepas dari tarik menarik kekuasaan yang selama ini telah membentuk struktur-struktur ketidakadilan dan terus berusaha melestarikannya. Kerangka hermeneutis inilah yang perlu selalu diperhatikan di dalam menghayati Tahun Keadilan Sosial. Di dalam kerangka itu, kalimat Bapa Suci Paus Fransiskus jadi sangat bergema: "Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri."


Lagi pula, seperti saya singgung di atas, persis di situlah warta gembira Natal jadi memperoleh kembali signifikansinya, tidak terjebak menjadi sekadar ritus yang membosankan, atau hura-hura konsumeristis. Seperti diwartakan Matius, Yang Maha Tinggi sudah memutuskan untuk bertindak dan menggoncang kekuasaan lewat mereka yang paling kecil, miskin, terhina dan tersingkir.


Selamat mengarungi Tahun Keadilan Sosial.


Dimuat dengan sedikit perubahan dalam KOMPAS, 17 Januari 2020

Penulis adalah peneliti lepas, aktif di Paritas Institute, Jakarta

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page