top of page

Ketika Tuhan Membisu

  • Writer: Johannes Silentio
    Johannes Silentio
  • Jan 8, 2019
  • 5 min read

Judul Buku: Silence – Hening

Pengarang: Shusaku Endo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2008

Format: 304 halaman


“Pertarunganku adalah dengan Kristianitas di dalam jiwaku sendiri.”
Rodrigues, dalam Silence

SAYA masih ingat, walau samar-samar, ketika pertama kali saya menemukan novel Shusaku Endo, Silence. Waktu itu musim dingin menjelang Natal 1991, di salah satu pojok second hand bookstore, di East Lansing, kota cantik di tengah Michigan. Bersama buku-buku lain yang sudah mulai dimakan usia, saya menemukan Silence.


Novel Silence melebihi seluruh harapan saya ketika membelinya. Sepanjang musim dingin itu saya membacanya, dan terperangah melihat bagaimana Endo mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan. Dan saya gembira, kini saya kembali menemukan Silence dalam versi Indonesia.


Pergulatan Iman

TENTU saja, sebagai novel Silence memang, selayaknya, dibaca juga sebagai novel. Bukan traktat teologis, atau kajian historis. Akan tetapi Endo memang sengaja mengambil periode Kirishitan, yakni Jepang pada abad ke-XVI dan XVII ketika kekristenan mengalami masa penindasan paling buruk, untuk melukiskan pergulatan teologis yang sudah lama menghantuinya. Dan justru karena itu, Silence memiliki nilai lebih ketimbang sekadar novel historis.


Dalam esainya yang menawan, Kirishitan and Today (1992), Endo memberi dua alasan mengapa periode itu sangat penting baginya sebagai novelis, walau ia mengaku bukan sejarawan. Pertama, Perang Dunia II menempatkan Endo pada posisi sulit, karena perang itu seakan-akan menghadapkan kekristenan yang diimani sebagai musuh atas dirinya sendiri sebagai orang Jepang. Dan, kedua, konflik itu rupanya punya akar yang sangat dalam, bahkan eksistensial. Sebab, “sebagai seorang Jepang, saya selalu merasa tidak cocok dengan kekristenan yang sudah terbaratkan—bukan pada kekristenan itu sendiri, melainkan pada bentuk kekristenan tertentu yang ditempa oleh peradaban Barat.”


Karena itulah, Endo perlu menengok pada bagaimana orang-orang Kristen Katolik menghadapi penindasan berat mereka. Periode Kirishitan, yang sekaligus menandai titik pertemuan awal Jepang dengan kebudayaan Barat, memberinya banyak bahan. Bagi Endo, menulis tentang periode gelap itu “bukanlah sekadar eksotisme, tetapi masalah mendesak bagi iman dan cara hidup saya.” Novel Silence (asli: Chimmoku, 1969) adalah cermin pergulatan iman Endo sendiri.


Kepada majalah Kumo yang mewawancarainya, Endo mengaku bagaimana ia berulang kali ingin meninggalkan iman Katoliknya, tetapi tidak mampu. Ketidakmampuan itu, baginya, memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga sebagian iman Kristen sudah mendarah daging dalam dirinya, walau ia dibaptis (atau lebih tepat: dipaksa baptis) pada usia sangat muda.


“Tetapi di hati saya masih saja ada perasaan bahwa kekatolikan itu sesuatu yang dipinjam, dan saya mulai bertanya-tanya seperti apa diri saya yang sebenarnya,” katanya. “Saya rasa, inilah ‘rawa-rawa’ Jepang dalam diri saya. Sejak saya pertama kali mulai menulis novel, sampai hari ini, konfrontasi antara diri saya yang Katolik dengan diri saya yang ada di bawahnya bisa diibaratkan pengulangan baris-baris yang sama, yang terus menerus berkumandang dalam karya-karya saya. Saya merasa harus mencari jalan untuk mendamaikan keduanya.” (h. 19)


Dengan itu, Endo menyentuh persoalan mendasar yang selalu menghantui siapapun orang yang ingin secara serius mempertanggungjawabkan imannya: sampai sejauh mana iman itu berakar, bertumbuh dan berbuah dalam dialog dengan budaya lokal, dan bukan hasil suatu imperialisme kultural ataupun teologis. Endo sangat serius dalam soal ini. Salah satu karya lainnya, A Life of Jesus (asli: Iesu no shogai, 1973) merupakan penceritaan kembali kisah tentang Yesus yang diimaninya, ditujukan bagi orang Jepang yang asing dengan segala seluk beluk bahasa dogmatis kristiani. Hasilnya adalah suatu potret jujur, sederhana, dan menyentuh tentang figur Yesus yang serba rentan, atau bahkan bisa disebut “gagal”, namun tetap setia menjalankan rencana keselamatan Allah sampai titik akhirnya.


Teodise dan Kemanusiaan Yesus

SISI kerentanan manusiawi Yesus inilah yang menjadi fokus refleksi iman Endo. Yesus yang diimaninya adalah figur yang kalah, yang disingkirkan, dibuang, dihina, dan bahkan mati disalib sebagai pemberontak di mata Romawi dan orang yang terkutuk di mata para pemuka agama Yahudi.


Dan itu juga potret Kakure Kirishitan, orang-orang Kristen yang terpaksa harus menyembunyikan identitas iman mereka di tengah penindasan, yang menjadi fokus utama novel Silence. Lewat tokoh Sebastian Rodrigues—diambil dari tokoh historis Giuseppe Chiara, misionaris yang datang ke Jepang tahun 1643—Endo mau melukiskan pergulatan iman Kakure Kirishitan yang diwarisinya.


Plot cerita Silence (diterjemahkan sebagai Hening oleh Gramedia) sangat sederhana. Lewat kabar burung, Rodrigues mendengar bahwa Christovao Ferreira, misionaris Yesuit yang pernah menjadi gurunya menyerah, meninggalkan imannya setelah mengalami “lubang penyiksaan” di Nagasaki. Tentu saja kabar ini membuat panik, dan bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup rohani umat. Karena itu Rodrigues bersama teman-temannya meminta agar dikirim menjadi misionaris ke Jepang.


Setelah bertahan beberapa lama, akhirnya Rodrigues ditangkap Inoue, Gubernur Chikugo yang sudah terkenal licin dan kejam, sebagai akibat penghianatan Kichijiro. Maka perlahan-lahan Rodrigues harus menyaksikan bagaimana umat yang dilayaninya mati sebagai syuhada demi mempertahankan iman mereka. Tetapi bukan cara penyiksaan yang kejam, atau bahkan kematian itu sendiri yang mengguncang iman Rodrigues, melainkan fakta bahwa Tuhan tetap membisu di hadapan kematian para syuhada yang seakan-akan sia-sia itu. “Tuhan, mengapa engkau diam saja? Mengapa engkau selalu membisu…?” tanya Rodrigues tanpa jawaban (h. 154).


Kebisuan Tuhan! Problem teodise itulah yang terus menerus muncul pada hampir sebagian besar novel Silence. Kebisuan itulah—bahwa Tuhan diam saja melihat kematian mereka yang beriman pada-Nya—dan bukan pengalaman di “lubang penyiksaan” yang mengerikan, yang membuat Ferreira meninggalkan imannya. “Dengarkan!” kata Ferreira pada Rodrigues. “Aku ditempatkan di sini dan aku mendengar suara orang-orang itu dan Tuhan tidak berbuat apa-apa. Tuhan tidak bertindak sedikit pun. Aku berdoa dengan sepenuh kekuatanku. Tapi Tuhan tidak berbuat apa-apa” (h. 263 – 64).



Iklan film SILENCE besutan Martin Scorsese

Ferreira sudah mengambil sikap, dan sampai pada kesimpulan ini: “Negeri ini ibarat rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri,” katanya pada Rodrigues. “Dan rawa-rawa ini keadaannya lebih parah daripada yang bisa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda kristianitas di rawa-rawa ini” (h. 234). Karena itu ia meninggalkan imannya, termasuk sumpah selibatnya, serta berusaha menjadi orang Jepang.

Sementara pada Rodrigues, protagonis Endo sendiri, kita menemukan sikap yang lebih bernuansa. Rodrigues juga mengalami pengalaman kebisuan Allah yang mengerikan, dan bahkan menginjak-injak fumie, gambar wajah Yesus atau Bunda Maria di atas lempengan perunggu, sebagai bukti penyangkalan imannya. Akan tetapi, apa yang mendorongnya untuk menginjak fumie itu justru suara Kristus sendiri. “Injaklah! Injak!” kata wajah di fumie itu padanya. “Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salibku” (h. 269).


Lewat kutipan itu, menurut Emi Mase-Hasegawa dalam esainya yang memikat (Inter-Religio 43, Summer 2003), Endo sesungguhnya sedang menggugat pandangan kekristenan Barat yang terlalu mengagungkan para syuhada, dan sekaligus memberi pemahaman kristologi alternatif. [Lihat kajian lengkap Emi Mase-Hasegawa juga.] Bagi Mase-Hasegawa, Tuhan tidak membutuhkan para syuhada yang mati bagi-Nya. Dan karena itu, Tuhan tetap membisu. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa Ia tidak menyertai umat-Nya. Dialog batin Rodrigues dengan Allah di akhir Silence menegaskan hal itu:

“Tuhan, aku benci kebungkamanmu.”
“Aku tidak bungkam. Aku ikut menderita di sampingmu.” (h. 295)

Menurut saya, persis problem teodise, kebisuan Tuhan, dan visi kristologi alternatif inilah yang membuat Silence selalu memikat untuk dibaca lagi dan lagi. Bahkan Martin Scorsese sudah mengadaptasinya menjadi film yang mendapat sambutan hangat di mana-mana. Karena Endo mengajukan pertanyaan yang memang sangat krusial bagi kita—bila kita memang sungguh-sungguh mau tetap beriman, bahkan di tengah kebisuan Allah saat menyaksikan tragedi kemanusiaan.


Pernah dimuat dalam PUSTAKALOKA Kompas, Minggu Paskah, 12 April 2009

Comentarios


bottom of page