Gus Dur, Pribumisasi Islam dan Pancasila
- Johannes Silentio
- Feb 6, 2019
- 13 min read

Sebagai kenangan untuk alm. Djohan Effendi
SIANG itu, tanggal 22 Desember 2000. Tiba-tiba telepon seluler saya berdering. Sebuah pesan pendek masuk, mengundang saya ke Istana karena Ibu Sinta Nuriyah Wahid ingin mengadakan perayaan Hari Ibu bersama para aktivis gerakan perempuan dan interfaith. Saya memutuskan untuk memenuhi undangannya. Sudah lama saya tidak sowan ke Presiden Abdurrahman Wahid. Dan ini kesempatan yang cukup langka.
Banyak teman-teman, terutama aktivis gerakan perempuan, hadir di sana. Kami makan dan minum, berdiskusi santai sembari bercanda. Sesekali Ibu Sinta tertawa lepas. Tubuhnya berguncang-guncang di atas kursi rodanya. Tetapi Gus Dur tidak muncul.
Menjelang maghrib saya pamit pulang, dan bertanya pada Ibu Sinta apa boleh menemui Gus Dur sebentar untuk pamit. “Masuk saja,” kata Ibu Sinta. “Bapak lagi di ruang makan.”
Jadi saya pun memberanikan diri masuk ke ruang tengah. Di meja makan yang lebar, saya melihat Gus Dur duduk sendirian. Di hadapannya ada cangkir teh panas dan beberapa kudapan. Lalu tangannya meraba-raba, mencari-cari di mana letak cangkir itu.
Pemandangan itu membuat hati saya terenyuh. Dengan cepat saya mengambil cangkir yang dicari Gus Dur, dan mendekatkan ke tangannya. Saya berlutut di samping Gus Dur sembari membisikkan nama saya.
“Oh kamu juga datang, tokh,” kata Gus Dur. “Acara di depan sudah selesai?”
Saya menjawab belum. Tetapi saya ingin pamit lebih dahulu, karena nanti malam saya berjanji akan makan bersama untuk merayakan ulang tahun isteri saya. Kemudian saya mencium punggung tangan Gus Dur. Ia tersenyum, dan berpesan agar saya berhati-hati di jalan.
Figur Multi-Paradoks
EPISODE pertemuan pendek itu selalu tertancap dalam ingatan saya. Setiap kali saya mengingatnya, kesenduan yang saya rasakan akan kembali. Sebab dalam episode pendek itu saya melihat figur Gus Dur yang penuh paradoks. Pada satu sisi, inilah figur yang kepadanya begitu banyak harapan maupun kekhawatiran jutaan orang ditumpahkan. Tetapi, pada sisi lain, ini juga figur yang sangat rentan karena keterbatasan fisiknya, sendirian di meja makan dan harus meraba-raba untuk menemukan cangkirnya tanpa pengawal atau pelayan. Padahal dialah Presiden negara ini.
Kenyataan paradoksal itu sungguh sulit dipahami. Dan mungkin tak akan pernah mampu dipahami, bahkan oleh orang-orang yang paling dekat dengan dia. Sebab Gus Dur, boleh dibilang, merupakan figur multi-paradoks par excellence yang sangat sulit – kalau bukan mustahil – ditemukan bandingannya. Semua ini berawal dari latar belakang kehidupan, baik keluarga maupun pengembangan dirinya yang sangat unik.
Dalam diri Gus Dur, kita menyaksikan percampuran ajaib yang menjadikannya figur multi-paradoks, seperti diperlihatkan Greg Barton lewat telaah biografis yang kaya tentang kehidupan Gus Dur.[1] Lahir dari garis keturunan NU tanpa cela, yang mewarisi darah dari dua tokoh besar pendiri NU (Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H Bisri Syamsuri), sejak awal Gus Dur diperkenalkan pada semangat kosmopolitan oleh ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, mantan Menteri Agama yang meninggal muda karena kecelakaan. Sejak dini, Gus Dur pernah dititipkan ke seorang mualaf asli Jerman, Williem Iskandar Bueller yang membuatnya jatuh cinta pada musik klasik, khususnya Beethoven, maupun tinggal di rumah K.H. Junaidi, ulama modernis anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Semangat kosmopolitan itulah yang kemudian berkembang subur lewat penjelajahannya ke dalam tradisi pemikiran Islam klasik maupun dialog intens dengan ilmu-ilmu sosial, filsafat, serta ekspresi kultural Barat, yang dengan rakus dilahap Gus Dur semasa belajar di Kairo dan Baghdad. Konon ia fasih dalam empat bahasa asing, sekaligus dapat membaca dalam tiga bahasa asing lainnya.
Semua pengaruh itu membentuk sintesa yang penuh dengan tegangan paradoksal sehingga kerap mengecoh orang. Bagaimana mungkin anak seorang kiai yang sangat berakar dalam sub-kultur pesantren tradisional, justru suka sekali dengan “An die Freude” dari Simfoni ke-9 Beethoven, kecanduan sepak bola, serta mampu berdialog dengan teori-teori sosial modern dari Barat? Bagaimana menjelaskan figur yang berakar kuat dalam khasanah Islam klasik, mengimani dan menghidupinya sehari-hari dengan laku sufistik namun, pada saat bersamaan, justru menjadi tokoh utama yang terus menerus tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, kesetaraan, dan nilai-nilai demokratis?
Soal ini yang akan menjadi fokus esai kenangan saya. Yang jelas, Gus Dur mampu menghidupi – atau bahkan mengolah dan “memainkan” – tegangan-tegangan paradoksal itu sebagai modal kultural demi perjuangan visinya. Salah satu contoh terkenal adalah tegangan antara sosok Gus Dur sang zahid[2] yang, bagi sebagian pengikutnya, telah mencapai maqom sebagai wali Allah, dengan sosok maestro politisi. Berulang kali Gus Dur memberitahu sahabat-sahabat dekatnya, seperti Marsillam Simanjuntak, Greg Barton, alm. Djohan Effendi, Alwi Shihab dan lainnya, bahwa suatu kali ia akan menjabat sebagai Presiden Indonesia. Ia sangat yakin dalam hal ini. Padahal kebanyakan dari mereka, seperti pernah suatu kali dituturkan alm. Djohan Effendi kepada saya, menganggapnya hanya sebagai lelucon. Tak seorang pun percaya pada omongan Gus Dur bahwa dia akan menjadi Presiden, mengingat rezim totaliter Orde Baru waktu itu kelihatan sangat kokoh.
Karena itu kebanyakan dari mereka, apalagi para pengamat lainnya, terkejut dan kebingungan saat akhirnya Sidang Umum MPR menentukan Gus Dur sebagai Presiden, walau Megawati Soekarnoputri yang memenangkan Pemilu 1999. Terlepas dari segala kasak-kusuk politik di belakangnya, termasuk langkah-langkah “Poros Tengah” di bawah komando Amien Rais untuk menjegal Megawati, kenyataan bahwa Gus Dur yang akhirnya terpilih itu memang sungguh mengejutkan. Padahal, seperti dikenang Barton, Gus Dur sendiri sejak awal Juli 1998 sudah “memberitahu saya, secara bergurau, atau kelihatannya demikian saat itu, bahwa jika tak ada orang lagi yang cocok menjadi Presiden, maka ia akan bersedia memikul tanggung jawab tersebut.”[3] Tidak heran jika cerita-cerita seperti itu makin menambah legenda tentang kemampuan adikodrati Gus Dur yang, bagi banyak pengikutnya, dianggap sebagai wali Allah yang “weruh sak durunge winarah” (tahu sebelum kejadian).[4]
Tampaknya Gus Dur sangat menikmati legenda-legenda tentang dirinya yang berkembang dalam masyarakat itu. Sebagai seorang maestro politik, dia sadar bahwa cerita-cerita legendaris itu merupakan bagian penting dari modal kulturalnya yang, jika dikelola dan dipakai dengan baik, akan sangat berguna bagi perjuangan visi besarnya bagi masa depan Indonesia yang demokratis dan adil. Dan untuk kepentingan itu, ia tidak segan-segan membuat cerita legendaris tentang dirinya.
Misalnya, salah satu legenda yang sampai sekarang masih diyakini banyak kalangan: pengakuan Gus Dur bahwa dirinya adalah seorang keturunan Tionghoa! Bahkan ia dapat “membuat” silsilah yang cukup panjang sampai Puteri Campa yang menjadi selir dari Raja Brawijaya V. Dari perkawinan itu, lahirlah dua anak: Tan Eng Hian (kemudian dikenal sebagai Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak) dan Tan A Lok, seorang puteri, yang nantinya menikah dengan orang Tionghoa yang menjadi ulama Muslim, Tan Kim Han. Hanya saja, Gus Dur tidak konsisten. Kadang ia mengaku keturunan dari Tan Eng Hian (Raden Patah), kadang pula dari Tan Kim Han.[5]
Tentu saja, pengakuan Gus Dur saat itu menggegerkan banyak kalangan. Sependek ingatan saya, tidak pernah ada upaya ilmiah untuk membuktikan atau menggugurkan pendakuan itu. Dan mungkin pembuktian semacam itu memang tidak diperlukan. Sebab langkah yang dilakukan Gus Dur, menurut saya, lebih merupakan siasat kultural – suatu politik simbol yang dengan piawai dimainkan Gus Dur untuk memperjuangkan kepentingan tertentu sesuai visinya.
Maksud saya begini: Pendakuan Gus Dur itu tidak dapat dilepaskan dari konteks tragedi Mei 1998 yang sangat menyakitkan bagi warga keturunan Tionghoa. Peristiwa kekerasan dalam skala yang besar itu telah menciptakan ketakutan, sehingga mendorong eksodus warga keturunan Tionghoa keluar dari Indonesia. Kita tahu bahwa peristiwa itu pula yang mengantar runtuhnya rezim Orde Baru. Di tengah kecemasan itulah, Gus Dur tampil dan mengaku diri sebagai keturunan Tionghoa. Ia seperti memasang badan dan memberi ketenteraman. Itu yang ditegaskan K.H. Said Aqil Siradj pada tahun 1998. Menurut Siradj, Tan Kim Han memiliki putera Raden Rachmat (Sunan Ampel), yang kemudian menurunkan K.H. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur dan pendiri NU. “Dengan demikian, tidak ada istilah pri dan non-pri, Muslim dan non-Muslim,” ujarnya.[6]
Siasat kultural yang dijalankan Gus Dur rupanya cukup ampuh dan bertahan lama. Bahkan sampai sekarang. Ketika pidato pertama Gubernur DKI terpilih, Anies R. Baswedan memakai kosakata “pribumi” dan menimbulkan heboh besar di mana-mana beberapa waktu lalu, seseorang mengingat kembali cerita tentang “leluhur” Gus Dur itu dan mempostingnya di Facebook. Di situ Gus Dur menjadi salah satu “patriot tanah air berdarah keturunan” karena merupakan “Tionghoa pertama yang menjadi Presiden RI”![7]
Terlepas dari soal benar atau tidaknya pendakuan itu, bagi masyarakat keturunan Tionghoa nama Gus Dur memang harum. Pada tanggal 10 Maret 2004 di Kelenteng Tay Kek Sie, Gus Dur – yang datang dengan kostum pakaian tradisional Tionghoa – dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Setidaknya, di bawah pemerintahan Gus Dur itulah peraturan yang selama ini mendiskriminasi warga keturunan Tionghoa, mulai dari pelarangan adat dan budaya sampai agama Khonghucu, berhasil dicabut. Dan perayaan Imlek pun menjadi salah satu hari raya nasional.
Warisan
CERITA-cerita semacam itu bisa diperpanjang oleh banyak kesaksian lain. Terlepas dari sikap dan gayanya yang acap kali nyeleneh dan membingungkan banyak orang, ada hal yang tak pernah dapat dipungkiri: warisan terbesar Gus Dur adalah pada upaya pembaharuan internal dalam tubuh umat Islam, khususnya NU, serta ketegarannya di dalam membela kelompok-kelompok “minoritas” yang tertindas. Dan keduanya merupakan keniscayaan bagi kokohnya Indonesia sebagai negara demokratis yang berdasarkan Pancasila. Sebagai catatan, di sini saya memakai istilah “minoritas” bukan sekadar dalam artian kuantitatif, tetapi juga merujuk pada kelompok-kelompok yang rentan karena akses mereka untuk hidup yang layak dibatasi oleh berbagai alasan.
Jelas keduanya saling berkelindan erat. Pembelaan Gus Dur bagi kelompok-kelompok minoritas merupakan bagian tak terpisahkan dari upayanya melakukan pembaharuan internal umat Islam. Sementara upaya pembaharuan itu – atau, untuk memakai istilah yang diperkenalkan Gus Dur sendiri, suatu “pribumisasi Islam” – merupakan conditio sine qua non bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia. Menurut saya, itulah visi utama yang menjadi fokus perjuangan Gus Dur seumur hidupnya. Karena itu ijinkan saya mengelaborasi soal ini lebih jauh.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur tampil sebagai salah seorang intelektual Muslim yang paling gigih membela Pancasila. Di sini, lagi-lagi, faktor latar belakang keluarga punya peranan signifikan. Seperti diingatkan Douglas E. Ramage dalam esai klasiknya mengenai pemikiran politik Gus Dur, ada “ikatan sentimental dengan Pancasila” yang membuat Gus Dur begitu tegas dan kokoh membelanya. Berulang kali Gus Dur menegaskan bahwa ayahnya, K.H. Wahid Hasjim, ikut berperan dalam merumuskan Pancasila. “Ia menjelaskan, pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang ia yakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila,” tulis Ramage.[8]
Selain alasan “ikatan sentimental” itu, Gus Dur juga sadar dan yakin bahwa negara Pancasila merupakan bentuk negara yang paling sesuai dengan pandangan teologis para kiai NU yang melihat tidak perlu mendirikan negara Islam, dan Pancasila sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Penegasan itu disampaikan saat Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), di mana NU secara formal menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara republik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan “bentuk negara yang sudah final”.
Kita tahu, dalam Muktamar 1984 itu Gus Dur memainkan peran penting bersama K.H. Achmad Siddiq. Keduanya seperti dwitunggal yang bertanggung jawab merumuskan serta mendorong transformasi dan revitalisasi NU. Salah satu langkah strategisnya adalah dengan mengeluarkan NU dari politik praktis untuk “Kembali ke Khittah 1926”. Langkah ini sebenarnya strategi yang cerdik untuk mempertahankan “otonomi” NU dari kecenderungan totaliter rezim Orde Baru saat itu yang berusaha mengkooptasi partai-partai politik (lewat fusi partai-partai di mana NU dimasukkan ke dalam PPP) dan memonopoli tafsir Pancasila (lewat keharusan agar Pancasila menjadi azas tunggal partai politik). Dengan meninggalkan politik formal kepartaian, maka sebenarnya terbuka ruang-raung politis yang lebih beraneka ragam di mana NU dapat memainkan peranan kritis terhadap rezim Orde Baru, yakni dengan membangun wacana dan gerakan demokrasi yang independen bersama elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, seperti pers, intelektual, budayawan, gerakan buruh, maupun organisasi-organisasi keagamaan non-Islam.
Gus Dur sadar, posisinya sebagai Ketua Umum PBNU – organisasi Islam dengan massa terbesar – akan selalu dilirik dan digoda untuk aneka kepentingan, baik oleh Soeharto, partai-partai politik, militer, sampai para pengusaha. Sungguh dibutuhkan kehati-hatian ekstra di dalam mengelola basis massa yang sangat besar. Bagi Gus Dur, sesuai dengan visi besarnya untuk membangun negara demokratis yang berdasarkan Pancasila, maka NU harus selalu berada “di tengah”, yakni mengembangkan prinsip tawassuth (moderat) sehingga mampu memainkan peran sebagai “jangkar kestabilan politik”. Namun hal ini juga membutuhkan “pembaharuan internal” di dalam tubuh NU maupun umat Islam secara keseluruhan, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh dunia) dapat dicapai.
Dalam konteks itulah, gagasan “pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur sejak 1980-an memperoleh signifikansinya. Sayang sekali Gus Dur tidak pernah mengelaborasi gagasan itu secara komprehensif dalam tulisan, kecuali dalam sebuah tulisan pendek yang didasarkan pada wawancara lisan Abdul Mun’im Saleh,[9] namun gagasan dasarnya memiliki gema yang kuat dan bahkan sempat menimbulkan kontroversi yang panas di media massa. Boleh jadi, dengan gagasan itu Gus Dur menyentuh salah satu pokok perbincangan dan keprihatinan banyak kalangan teolog maupun agamawan yang kritis.[10]
Pada satu sisi, dengan gagasannya itu Gus Dur sedang mengkritik kecenderungan “Arabisasi” yang menguat, seperti tampak dalam maraknya penggantian istilah-istilah bahasa Indonesia ke bahasa maupun ekspresi kultural Arab. Orang mulai gemar memakai milad sebagai ganti “ulang tahun”, ikhwan sebagai ganti “teman/sahabat” dan lainnya, seiring maraknya proses “jilbabisasi” untuk menggantikan “kerudung ala Melayu”. Dan dalam soal ini muncul kontroversi panas ketika, dengan gaya nyelenehnya, Gus Dur mengusulkan untuk – menurut reportase media – “mengganti” ucapan assalamu’alaikum dengan “selamat pagi”.[11]
Terlepas dari kontroversi itu, gagasan Gus Dur sebenarnya memiliki sisi lain yang jauh lebih visioner dan mendasar: ia sedang membuka ruang dan mengupayakan “rekonsiliasi” antara agama dengan budaya setempat. Proses “Arabisasi” yang dikritik Gus Dur dapat membuat kita “tercerabut dari akar budaya kita sendiri”. Lagi pula, proses itu belum tentu sesuai dengan kebutuhan. Namun Gus Dur juga menolak sinkretisme atau “pembauran agama dengan budaya”. Pesan Islam sebagai agama wahyu yang bersifat universal harus tetap dipertahankan, namun pada saat yang sama wahyu itu “dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.”
Begini Gus Dur merumuskan gagasan dasarnya:
“Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh varisasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh.”[12]
Atau, kalau mau dirumuskan dengan cara lain, polarisasi dan ketegangan antara agama dengan budaya akan selalu ada. Keduanya membentuk kutub-kutub penting bagi kehidupan manusia. Namun hal itu tidak berarti bahwa salah satu kutub harus ditundukkan pada yang lain, entah agama tunduk pada budaya atau sebaliknya, melainkan ketegangan tersebut harus dihidupi dan dikelola dengan bijaksana. Suatu posisi yang mencerminkan pengalaman pribadi Gus Dur sendiri yang multi-paradoks, sekaligus pengalaman konkret NU yang sejak awal selalu berdialog dengan budaya-budaya lokal.
Indonesia sebagai “Rumah Bersama”
DENGAN itu menjadi jelas, kritik Gus Dur terhadap proses “Arabisasi” bukanlah sekadar kritik terhadap fenomena mode sesaat, yakni maraknya pemakaian istilah dalam bahasa Arab, tetapi dilandasi oleh visi utamanya agar nilai-nilai luhur dan universal Islam yang diyakininya mampu mewarnai sekaligus memperkokoh negara demokratis yang berdasarkan Pancasila. Dan di situ, gagasannya tentang “pribumisasi Islam” menemukan dimensi politisnya.
Islam yang diyakini dan diperjuangkan Gus Dur adalah Islam yang ramah dan terbuka, yang memberi ruang dan mampu berdialog dengan budaya-budaya lokal, paham pemikiran, ekspresi budaya maupun keyakinan lainnya yang sangat beragam. Dengan cara itu, maka Islam akan mampu menjadi kekuatan transformatif-liberatif bagi masyarakat, dan bukannya menjadi alat politik demi sekadar meraih atau melanggengkan kekuasaan. Kedewasaan penghayatan nilai-nilai keislaman seperti itulah yang akan dapat mewarnai sekaligus memperkokoh Indonesia sebagai “rumah bersama” semua kelompok. Menurut saya, gagasan tersebut sungguh sangat visioner dan jauh mendahului zaman. Sekarang ini, visi keislaman yang dikemukakan Gus Dur itulah yang kemudian dikenal sebagai “Islam Nusantara”.
Tentu saja Gus Dur tidak seorang diri bergulat dan mencetuskan pandangan tentang Islam yang terbuka, sangat menghargai pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi itu. Ada banyak cendekiawan Muslim yang, walau bekerja sendiri-sendiri, secara bersama-sama melahirkan paradigma yang sering disebut sebagai “neo-modernisme” atau bahkan “liberal”.[13] Tetapi Gus Dur, sebagai figur multi-paradoks, punya keunikan tersendiri. Sebab di sini, lagi-lagi, kita melihat sisi lain dari paradoks Gus Dur: seorang yang sangat berakar pada Islam tradisional, namun mampu merangkul dan mengembangkan pandangan keagamaan yang pluralistik dan menghargai nilai-nilai inti demokrasi.
Bertolak dari gagasan itu, kita dapat memahami mengapa Gus Dur dengan tegas menolak sekelompok intelektual Muslim terkemuka yang gencar mengupayakan pembentukan “masyarakat Islam”, maupun menolak undangan untuk bergabung ke dalam ICMI yang direstui Soeharto pada Desember 1990. Bagi Gus Dur, seperti dikemukakan pada Douglas Ramage yang mewawancarainya,
“Saya berbeda pendapat dengan Amien Rais (ilmuwan politik, pemimpin Muhammadiyah yang aktif di ICMI) yang ingin membuat sebuah masyarakat Islam. Bagi saya, ‘masyarakat Islam’ di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non-Muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi, sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum Muslim kuat – kuat artinya berfungsi secara baik – saya pikir itulah yang terbaik.”[14]
Di situ lagi-lagi Gus Dur menegaskan visi kenegaraannya. Dan untuk melawan upaya Soeharto memanfaatkan Islam (lewat ICMI) sebagai basis baru legitimasinya setelah menurunnya dukungan militer, pada tahun 1991 Gus Dur dan sahabat-sahabatnya membuat Fordem (Forum Demokrasi) di Jakarta, sekaligus menginisiasi DIAN/Interfidei di Yogyakarta. Jika Fordem bergerak pada tataran politik, sebagai forum untuk mengembangkan pandangan-pandangan alternatif tentang demokrasi, pembangunan, maupun komitmen pada kesatuan nasional, maka DIAN/Interfidei merupakan laboratorium sosial guna menyemai kecambah pluralisme di tengah masyarakat. Inisiatif DIAN/Interfidei itu, yang dibentuk Gus Dur bersama sahabat-sahabat dari multi-agama, seperti alm. Pdt. Eka Darmaputera, alm. Ibu Gdong Oka, alm. Djohan Effendi, alm. Th. Sumartana, dan lainnya, sebenarnya merupakan terobosan guna mengembangkan perjumpaan-perjumpaan dialogis antar-iman dari bawah sebagai counter discourse terhadap “politik perukunan” rezim Orde Baru.[15] Lewat perjumpaan-perjumpaan dialogis itulah kecambah civil society, yakni kelompok-kelompok lintas-iman dan lintas-etnis, berkembang subur dan memegang peranan penting di dalam proses transisi setelah runtuhnya Orde Baru.
Terlalu banyak kalau kita mau merinci sumbangan Gus Dur bagi gerakan antar-iman di Indonesia. Ia bukan saja melontarkan gagasan-gagasan yang visioner, walau sering dibungkus dengan istilah yang nyeleneh, tetapi juga berusaha membangun jembatan di antara kelompok-kelompok keagamaan dan tanpa letih membela kelompok “minoritas” yang tersisihkan. Misalnya, di lingkungan gereja-gereja Protestan, Gus Dur merupakan cendekiawan Muslim yang selalu hadir dan memberi sumbangan pikiran dalam forum SAA (Seminar Agama-Agama) serta forum diskusi di LPS/Balitbang (Lembaga Penelitian Sosial/Badan Penelitian dan Pengembangan) PGI yang dikelola oleh sahabat-sahabatnya, seperti alm. Pdt. Fridolin Ukur, alm. Th. Sumartana, maupun Prof. Dr. Olaf Schumann. Sementara pembelaannya bagi “minoritas” yang tersisihkan sudah menjadi legenda tersendiri yang akan selalu dikenang oleh bangsa ini. Tanpa letih ia membela mereka yang tersisihkan, mulai dari Inul Daratista, Ulil Abshar-Abdalla, Pesantren Al-Mukmin Ngruki, sampai rakyat Irak, Palestina, Aceh, maupun Ambon. [16] Semua itu digerakkan oleh visi Islamnya yang universal dan humanis, yang mampu merangkul dan mengayomi semua kalangan.
Sungguh, Gus Dur merupakan salah satu sintesa terbaik dari situasi multi-paradoks yang menyertai perjalanan bangsa ini. Dan saya bangga pernah mengenal dan berguru padanya.
Jakarta, akhir November 2017
Teks ini awalnya diterbitkan dalam Iip D. Yahya (ed.), NU Penjaga NKRI, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2018, h. 214 - 227.
Catatan Kaki
[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS dan www.gusdur.net, 2003.
[2] Telaah yang luar biasa mengenai dimensi sufistik Gus Dur dapat ditemukan dalam K.H. Husein Muhammad, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2012.
[3] Greg Barton, Biografi Gus Dur, op.cit., h. 12.
[5] Baca lika-likunya dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-gus-dur-mengaku-keturunan-tionghoa-tulen.html.
[6] Sebagaimana dilaporkan dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/02/08/07070061/Gus.Dur.Ulama.Nyentrik.yang.Mengaku.Keturunan.Cina.Tulen?page=all.
[8] Lihat Douglas E. Ramage, “Demokratisasi, Toleransi Agama dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (penyunting), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997, h. 197. Selain ayah Gus Dur, dalam pertemuan itu juga dihadiri Kiai Masykur, tokoh NU yang menjadi Komandan Pasukan Sabilillah waktu itu dan Kiai Kahar Muzakkir dari Partai Islam Indonesia (PII), serta Muhammad Yamin sebagai tuan rumah. Sebenarnya bukan Soekarno meminta nasihat, melainkan lebih merupakan pertukaran ide untuk menemukan kompromi terbaik bagaimana mengelola kemajemukan masyarakat dalam negara yang dicita-citakan bersama itu. Paling tidak kesan itu yang dapat ditangkap dari kesaksian lisan Kiai Masykur, sebagaimana dikutip dalam Andrée Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, h. 32 – 35.
[9] Lihat tulisan pendek Gus Dur, “Pribumisasi Islam”, dalam Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, suntingan Tim Desantara, Depok-Jakarta: Desantara, 2001, h. 109 – 128.
[10] Sebagai perbandingan, di kalangan para teolog kristiani pada tahun-tahun yang sama juga berlangsung percakapan seputar “kontekstualisasi” maupun “pribumisasi” (lebih sering dipakai terjemahan literal: indigenisasi) warta Injil. Misalnya, untuk menyebut beberapa contoh, lihat kajian ringkas yang menarik dari Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, edisi revisi, 2012 [cetakan pertama: 1982]. Dari Katolik, lihat karya J.B. Banawiratma, Jesus Sang Guru, Yogyakarta: Kanisius, 1977.
[11] Seperti dicatat M. Syafi’i Anwar dalam tesis MA-nya yang kemudian diterbitkan, Gus Dur sempat membela gagasannya dalam kolom di majalah Amanah, bahwa ia tidak bermaksud “mengganti” ucapan salam tersebut, tetapi sekadar “merelevansikan”-nya. Lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995, h. 243 catatan no. 37.
[12] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, op.cit., h. 111.
[13] Istilah itu datang dari disertasi Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999. Baca juga tesis Master M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, op.cit., yang melukiskan pergulatan serupa.
[14] Sebagaimana dikutip dalam Douglas E. Ramage, ““Demokratisasi, Toleransi Agama dan Pancasila”, op.cit., h. 206.
[15] Saya mengelaborasi soal ini dalam tulisan lain. Lihat Trisno S. Sutanto, “Negara, Kekuasaan, dan ‘Agama’: Membedah Politik Perukunan Rezim Orba”, dalam Zainal Abidin Bagir, dkk., Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, Bandung dan Yogyakarta: Mizan dan CRCS-UGM, 2011., h. 115 – 148.
[16] Lihat esai-esai Gus Dur yang dikumpulkan dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006. Esai-esai itu merupakan kumpulan kesaksian pembelaan Gus Dur bagi mereka yang tersisihkan.
Comments